Arsip untuk 22, 2010

Usianya masih 30 tahun. Tapi sepak terjangnya sudah menggegerkan Mabes Polri. Gayus Halomoan Tambunan, belakangan ini namanya santer disebut sebagai makelar kasus pajak yang ditangani tidak sesuai aturan alias penuh rekayasa. Kasus ini diduga melibatkan sejumlah jenderal di kepolisian.

Namanya pertama kali disebut oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar tidak jelas.

Dalam kasus pajak ini Gayus dibidik Polri dengan 3 pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi, namun di persidangan dia hanya dituntut dengan pasal penggelapan. Hakim memvonisnya dengan hukuman 1 tahun percobaan. Belakangan dia dibebaskan.

Uang sebanyak itu tentu saja mengejutkan menilik Gayus hanya pegawai pajak golongan IIIA. Dirjen Pajak Mochmamad Tjiptardjo pun tidak kalah terkejutnya.

Sebagai perbandingan, gaji PNS golongan IIIA dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun hanya berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Namun angka ini belum memperhitungkan tunjangan menyusul adanya remunerasi di Ditjen pajak

Di kantor pusat pajak, Gayus memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Namun seiring merebaknya kasus markus ini, jabatan Gayus langsung dicopot.
Gayus sendiri bukan nama asing dalam tahun ini, mungkin kalau ada penghargaan siapa yang paling populer di tahun ini, Gayus bisa menjadi pemenangnya. Banyak hal fenomenal yang dia lakukan beberapa tahun terakhir dan terungkap,mulai dari adanya pengakuan Susno dan satgas anti mafia hukum. Pegawai Negeri Sipil Golongan IIIA yang sudah sangat tambun namun belum puas akan harta ini memiliki banyak simpanan di beberapa Bank dalam bentuk deposito.
Di tengah minimnya kualitas dan kuantitas wajib pajak itu, Gayus sebagai orang yang mengerti seluk-beluk mempermainkan pajak, ternyata telah dengan sangat leluasa mengambil manfaat untuk kepentingan dirinya pribadi dan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia.

“Apalagi, sistem demokrasi kita menunjukkan ‘No money, no power’. Jadi memang, hukum masih tidak berdaya oleh sistem. Kalaupun kasus Gayus mau ditelisik, maka akan berhadapan dengan ‘dinding tebal’ dan ‘lingkaran setan’,”.

Alhasil, minoritas orang yang justru masuk dalam kelompok super kaya, pasti sebanding dengan kekuasaan yang diperolehnya. “Sebaliknya, mayoritas warga tapi miskin, pasti tidak akan pernah memiliki kekuasaan,” .

Menanggapi adanya wacana untuk memiskinkan Gayus atau menghukum mati para koruptor di negeri ini, tindakan itu hanya akan efektif apabila sistem hukum Indonesia ke depan mengakomodir proses pembuktian terbalik, sehingga penyitaan harta benda hasil korupsi oleh negara sah secara hukum.